Aku Tahu Pasti Kau Tidak Tahu
Oleh: Rohman Abdullah
Rasanya baru kemarin aku dibaiat untuk janji setia, tunduk dan patuh terhadap aturan Pondok Kebon Jambu. Dengan bimbingan Al-mukarom Al-Marhum Al-Maghfurlah KH. Asror Muhammad, didampingi bapak, aku manggut-manggut ta’dzim tanda setuju saat beliau menyampaikan falsafah makna 7 tahun, 2 perintah dan 9 larangan yang merupakan wasiat Akang (KH. Muhammad) dan mbah sanusi (KH. Sanusi).
"Kalau diibaratkan sumur, agar mengeluarkan air minimalnya digali sedalam 7 meter. Kalau baru digali 2 atau 3 meter kemudian berpindah tempat, airnya mana mungkin bisa keluar. Bahkan 7 meter itu baru keluar rembesannya saja, kalau airnya mau bisa diambil, ya harus digali 8 sampai 10 meter, itupun tergantung tanahnya. Ada juga yang 10 meter baru rembes airnya, otomatis agar bisa diambil manfaat, harus 15 meter. Hehehehehe." dawuh Aang dengan tawa khasnya. "Mangga, manga, dijaburi!" tutur beliau kemudian melanjutkan dawuhnya.
"Mondok itu diibaratkan latihan untuk kehidupan setelah rumah tangga nanti. Dipondok kan biasa lapar, biasa ngantri, biasa sabar. Setelah rumah tangga pun sama, sehingga nanti lebih bijak dalam menyikapinya karena sudah pernah latihan di pondok. Yang semangat mondoknya, kader gah (lagi pula) cuma sebentar. Paling di pondok 8 atau 10 tahun setelah itu pulang ke rumah selamanya.”
Mangut-manggut adalah jawaban dan tanda setuju yang aku utarakan kala itu, karena tak mampunya lisan untuk berkata-kata di hadapan wibawa beliau yang begitu agung.
Bayangan-bayangan beliau tampak nyata kembali dalam perenunganku malam itu. Beliau hadir di dalamnya walaupun sekedar tersenyum, namun bagiku cukup untuk menjadi penawar atas dahaga canduku.
Tiba-tiba ingatanku pada nasehat beliau beberapa tahun silam ketika ngaji adab muncul kembali dengan rasa yang sama saat aku menyaksikan langsung wajah beliau saat itu, masih angetan.
"Di pondok jangan pacaran. Jangan sampai! Pokoknya nanti yang pacaran Aang doakan istrinya boleng dohir batin. Banyak kesaksian para alumni yang mengaku demikian akibat melanggar larangan ini. Dulu waktu Aang mondok juga seperti itu, banyak alumni yang cerita, ada yg boleng dohirnya, batinnya, banyak lah"
Nasehat ini yang paling aku hafal karena Aang menaukidi nasehat ini berlapis-lapis dengan keterangannya. Nasehat ini sering sekali beliau ulang tatkala ngaji adab. Artinya larangan ini sangat dilarang. Bahkan tak tanggung-tanggung bagi pelanggarnya didoakan “istri atau pasangannya boleng"
Boleng di sini saya pahami sebatas kiyasan dari sesuatu yang menyalahi umum, mungkin.
Ada lagi nasehat beliau begini:
"Penilaian orang terhadap kita dikatakan baik atau buruk itu ya dari tatakrama, makanya penting belajar ilmu adab.supaya bisa berinteraksi dengan baik kepada kesesama."
Nasehat itu beliau utarakan kepada kami yang masih sangat polos supaya kami sadar bahwa adab adalah identitas pembeda bagi manusia yang mau dimulyakan atau didurhakakan.
Hal yang paling kami tunggu saat dulu ngaji adab adalah kisah-kisah yang beliau suguhkan, mulai dari karomah ulama Indonesia, Robiyah Al-Adawiyah dan lain-lain yang penuh makna dan motivasi, sehingga dari kisah-kisah itu kami seolah terbangun dan termotivasi untuk sabar, tawakal dalam menjalankan hidup demi memperoleh ridhoNya.
Saya masih hafal betul tatkala beliau selesai menceritakan kepatuhan Mbah Karim kepada Mbah Kholil, lalu beliau menasehati kami untuk pintar memanfaatkan waktu luang agar menjadi berkah.
"Aang tidak bangga kalau kalian rajin ngaji pas waktu ngaji biasa, apa hebatnya? Yang Aang banggakan adalah ketika waktu kosong setelah ngaji dimanfaatkan untuk nikror, nderes, nah baru Aang salut!"
Setelah kembali ke kamar aku coba mengamalkannya walaupun belum maksimal. Setidaknya mencoba sekali lebih baik dari pada tidak sama sekali.
Dulu Aang juga selalu mengingatkan terkait hak milik Al-Qur'an. "Semua Santri harus punya Al-Qur’an masing-masing. Jangan membaca Al-Qur’an yang bukan milikmu apalagi milik orang yg sudah boyong."
Kalam itu beliau utarakan ketika bakda mujahadah malam selasa.
Dalam hati saya nyeletuk, "Kan sama saja, malahan hal baik karena pembaca membagi pahala dengan pemiliknya mengapa dilarang?"
Kemudian esoknya, sebelum menutup pengajian adab Aang ngedawuh, "Kalian harus memiliki Al-Qur’an masing-masing. Kenapa? Sebagai saksi nanti ketika kalian boyong. Orang yang membaca Al-Qur’an orang lain itu hukumnya gosab, tidak boleh. Nanti pahala Al-Qur’an yang kamu baca menjadi milik pemilik Al-Qur’an itu, sedangkan dosa ghosabnya menjadi milik kamu yang baca"
Tahu tidak bagaimana perasaanku kala itu? MasyaAllah...
Aku langsung membeca Istighfar, syahadat dan lain-lain sambil mengemis maaf padaNya atas kelancangan kala itu. Ternyata bukan hanya aku yang mengalaminya, teman yang duduk di sampingku saat ngaji juga pernah membatin dengan dawuh Al-Mukarrom yang ujungnya sama. Menyesal dan akhirnya minta maaf.
Masih sangat banyak nasehat beliau yang luar biasa menginspirasi. Refleksi ini baru sebagian dari sebagian kecil masa santri baru yang aku ungkap terkait beliau.
Semoga diberi kekuatan untuk melanjutkan.