Apa itu Ilmu Laduni?
Foto: https://www.facebook.com/muhamadridwan.elmuna
Oleh: Muhamad Ridwan
Dalam dunia pesantren, kata ini tidak terlalu asing di kalangan santri. Diantara mereka bahkan saling menyematkan kata ini untuk seorang santri yang kadang "tidak terlihat" sering belajar (nderes/mengulang pelajaran) tetapi selalu bisa ketika mengikuti pelajaran atau menjawab pertanyaan.
Dalam kitab waroqot. Ilmu itu dibagi menjadi dua. Ilmu Dzhoruri dan ilmu Nadzhori (disebut juga ilmu muktasab).
Ilmu dzhoruri itu ilmu yang untuk mendapatkannya tidak butuh penalaran / perenungan dan biasanya bisa langsung dirasakan oleh panca indera.
Contoh ; kita akan langsung tahu dan mengatakan kalau sambel itu pedes, dipukul itu sakit, orang itu cantik, dan lain lain.
Semuanya itu langsung kita tahu tanpa kita harus melakukan penalaran, perenungan, atau bahkan penelitian.
Sementara ilmu Nadzhori adalah ilmu yang untuk mendapatkannya harus melalui penalaran terlebih dahulu atau harus ada usaha untuk mendapatkannya.
Contohnya adalah hampir semua ilmu yang dipelajari di sekolah atau perguruan tinggi itu termasuk ilmu Nadzhori.
Nah, lantas bagaimana dengan ilmu Laduni ?.
Saya mendapat keterangan baru dari Pak Yai Faqih Abdul Kodir terkait ilmu Laduni ini. Saat beliau juga mengisi satu sesi dirasah dalam Ta'dhima kemarin.
Sebenarnya materi yang ia sampaikan adalah tentang ulama perempuan baik dari sisi sejarah, keilmuan Islam, dan prespektif ulama perempuan itu sendiri.
Namun saya rasa materi yang beliau sampaikan sudah (mungkin juga akan) ditulis oleh teman saya. Sehingga saya hanya ingin sedikit menuliskan apa yang
beliau sampaikan selain dari materi itu.
"Ilmu Laduni itu sesungguhnya adalah ilmu yang kita terima karena dalam diri kita ada semacem "futuh" kalau dalam istilah santri, keterbukaan terhadap segala ilmu pengetahuan di sekitarnya" begitu kata beliau.
Jadi, makanya tidak jarang kita menemukan seorang santri yang saat di pondoknya mungkin dianggap jarang "ngaji" karena sibuk untuk menjadi khodim, meladeni kebutuhan kyai / nyai pengasuh pondoknya.
Tetapi ketika pulang justru menjadi kyai, tokoh masyarakat, dan mampu menguasai banyak ilmu lain. Lalu kita menganggap dia mendapat ilmu Laduni.
Padahal, sebagaimana yang dijelaskan di atas bahwa ilmu Laduni itu sesungguhnya ada (dan bisa diupayakan ada) pada diri kita masing-masing. Selagi jiwa kita memiliki keterbukaan terhadap segala apa yang kita dengar, lihat, dan saksikan di sekeliling kita.
Dan hal itu, biasanya dimiliki oleh para khodim Kyai / Nyai atau abdi pesantren pada umumnya.
Misalkan, meskipun ia sedang menyapu, mengepel, roan, atau mengerjakan hal lain. Secara bersamaan sesungguhnya ia juga sambil mendengarkan pengajian, mempelajari serta meneladani sikap, sifat, dan kebiasaan para kyai / nyai di pesantren nya.
Atau dalam segala aktivitas pengabdiannya itu pada saat bersamaan juga akhirnya ia mendapatkan satu keahlian atau ilmu baru.
Dengan catatan tadi. Hati, pikiran, dan jiwanya itu selalu terbuka untuk menangkap ilmu pengetahuan di manapun dan dari manapun ia berada.
Namun memang hal ini jarang dimiliki. Sebagaimana dalam salah satu bait Alfiyah Ibnu Malik:
وَفِيْ لَدُنِّي لَدُنِيْ قَلَّ وَ فِي # قَدْنِي وَقَطْنِي الْحَذْفُ أَيْصًا قَدْ يَفِيْ
Lafadz لدنى itu قلّ, sedikit atau jarang ditemukan. Demikian pun dengan ilmu Laduni jarang kita menemukan orang yang bisa mendapatkan ilmu Laduni tersebut. Begitu kata guru saya yang lain.
Semoga kita adalah termasuk orang yang jarang tersebut. Aamiin.