Fiqh; Syariat Islam atau Produk Politik?

Oleh: M. Nur Fauzi Al-Bustomi

Suatu hari seorang teman kelas bertanya saat presentasi mata kuliah Hukum Perkawinan Indonesia. Kebetulan saya bertugas sebagai pemateri pewakilan dari kelompok kami. Saat itu judul yang diangkat adalah "Periodesasi Hukum Perkawinan di Indonesia".

"Yang menjadi pedoman kita (muslim indonesia) itu hukum nasional (UU, PP dan lain-lain) atau syariat islam (baca Fiqh) ?" Tanya seorang teman.
Seketika saya teringat dawuh Al-mukarrom Gusdur;  "Kita ini orang Islam yg kebetulan tinggal di Indonesia atau orang Indonesia yang kebetulan beragama Islam ?". Dawuh beliau ini memang hanya sebuah pertanyaan tapi sebenarnya mengandung unsur penegasan bahwa sebagai warga negara Indonesia hendaknya menyadari pluralitas sebagai sebuah keniscayaan. Oleh karenanya, hukum yg sepatutnya dijadikan rujukan dalam menyelasaikan problem sosial adalah hukum nasional bukan hukum syariat (baca: fiqih).

"Waah Liberal liberal". Kata salah satu audiens presentasi kami siang itu.
Saya pun diam. Saya faham karakter pemikiran teman-teman yang barangkali sangat teguh meyakini hukum fiqh sebagai syariat Islam tentu asing dengan hukum kontemporer.

Hari-hari setelah presentasi itu menjadi dilematis bagi saya pribadi. Terutama karena jujur saya sendiri tidak puas dengan jawaban yang saya sampaikan waktu itu. Fanatisme cara berfikir saya masih kental. Akhirnya, dari kegundahan itu saya memutuskan untuk mebaca buku "Fiqh Indonesia", tulisan mudir sekaligus dosen saya, Dr.KH. Marzuki Wahid, MA.
Dalam buku itu, beliau menyebutkan sebuah teori yang diplopori kaum Humanisme, diantaranya Jean Bodin (kedaulatan raja) dan kemudian dipopulerkan oleh Rudolf Von Jehring (1818-1892 M). Teori tersebut adalah konsep positivisme yuridis, yang intinya adalah hanya apa yang dianggap sebagai kenyataanlah yang bisa diterima sebagai kebenaran. Artinya, hukum yang sepatutnya dipakai dan dijadikan rujukan adalah hukum yang sesuai dengan kenyataan dimana hukum dibuat, siapa pembuatnya, kapan dibuat dan apa motif pembuatan hukumnya. Dengan teori ini berarti sebuah hukum itu tidak bebas, pasti terikat oleh nilai dan kepentingan (produk politik).
Beliau juga menukil konsep yg dipelopori oleh Roscoe Pound bahwa diantara peran hukum adalah a tool of social engineering, maka dari itu hukum tidak akan lepas dari Tujuan, jangkauan, kehendak sosial (produk politik), logika dan latar belakang (beyond the text).

Pak Mahmud MD pernah menulis dalam disertasinya bahwa Produk hukum senantiasa dipengaruhi oleh konfigurasi politik (imbangan kekuatan politik), artinya konfigurasi suatu kelompok dominan (penguasa) selalu melahirkan produk hukum tertentu tergantung visi politiknya.

Melengkapi premis awal itu, saya teringat dawuh salah satu dosen di Ma'had Aly Kebon Jambu, Buya Husein Muhammad. Beliau pernah berkata begin:

"Sebuah hukum tidak mungkin berada dalam ruang hampa". Artinya subjektivitas dan keadaan sosial politik memberikan pengaruh penting dalam pembentukan sebuah hukum.

Hukum Islam pun dalam sejarahnya tidak lepas dari peran politik karena dalam penerapannya seringkali membutuhkan legistimasi, bahkan seringkali dibahasakan dengan formulasi politik tertentu, seperti dengan cara legislasi.

Dulu, antara tahun 720-760 dan tahun 765 M, Al-Muqoffa pernah mengusulkan pembukuan Madzhab Maliki kepada Khalifah Abu Ja'far Al-Manshur. Khalifah setuju dan mengajukan ide tersebut kepada Imam Malik. Tapi, Imam Malik menolak. Kemudian pada tahun 777 M, Khalifah Harun Ar-Rasyid mengajukan ide yang sama kepada Imam Malik dan disetujui. Hingga kemudian terbukukanlah kitab Al-Muwatho' sebagai pedoman resmi pemerintah dalam menyelesaikan setiap permasalahan.

Dalam bidang Ilmu Kalam kita kenal Khalifah Al-Mu'tashim yang memihak kaum Mu'tazilah dan melawan kaum hadits. Mereka (kaum Hadits) disiksa dan dipenjara, bahkan Imam Ibnu Hanbal pun sempat di penjara kala itu.

Dari sekian bukti sejarah yang saya sebutkan di atas, terbukti lah sebuah perkataan "siapa yang berkuasa, itulah madzhab hukum yang berlaku".

Bagaimana dengan indonesia?

Menerapkan hukum Islam di Indonesia sebagai negara yang berasaskan Syariat Islam selalu saja menimbulkan konflik. Hal ini terbukti ketika dalam Piagam Jakarta, BPUPKI mencantumkan kalimat 'Menjalankan Syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya' sebagai anak kalimat dari sila pertama 'Ketuhanan'. Sehari setelah peresmian Piagam Jakarta, muncul protes dari agama lain yang minoritas sampai akhirnya anak kalimat tersebut diganti dengan kalimat 'yang maha ESA'.

Kemudian, ketika pemerintah hendak menjadikan hukum islam sebagai dasar negara lewat konstituante 1959, kaum nasionalis, komunis dan sekuler menolak mentah-mentah konstituante tersebut karena mereka peka dan sadar akan pluralitas. Akhirnya, anak kalimat tersebut direduksi dan diganti dengan kalinat yang sekiranya tidak mengancam agama lain, yaitu 'Ketuhanan yang maha ESA'.

Dari bukti sejarah yang saya sebutkan diatas, setidaknya kita mengerti bahwa hukum (termasuk Fiqh) adalah produk politik. Sehingga Jangkauan penerapannya disesuaikan dengan konteks dan lingkungan dimana hukum dibuat. Maka dari itu, setiap masa perlu adanya pembaharuan hukum (termasuk fiqh) agar sebuah hukum bisa tetap eksis dan shalih fi kulli zaman.

Terakhir, saya ingin mengutip kaliamat yg sering disampaikan salah seorang guru saya. Buya Syakur Yasin: 

"Gelem ya srog, bli yawis " (mau menerima silahkan, kalau tidak mau menerima, ya sudah).

    www.kebonjambu.org

    Telepon : 0231 342259

    Instagram : @pondokkebonjambu

    Facebook : @kebonjambu

    Twitter : @kebon_jambu

    E-Mail : kebonjambu34@gmail.com