KH. Muhammad
KH. Muhammad
Tanggal 15 Juni 1947, di kampung Karang Anyar desa Winduhaji kec./kab. Kuningan, Al-Mukarrom KH. Muhammad (Akang, biasa kita memanggil) lahir dari pasangan Bapak H. Aminta dan Ibu Hj. Tsani Rohimahumalloh. Mulai belajar mengaji saat berumur 10 tahun di lingkungannya sendiri dari ulama bernama Kyai Samud.
Ketika menginjak usia remaja, timbul keinginan melanjutkan belajar keluar daerah dengan tujuan untuk lebih memperkaya ilmu keagamaan dan wawasan. Menanggapi keinginan tersebut, sang guru menunjukkan tempat yang layak yakni Pesantren Babakan Ciwaringin Cirebon, tepatnya di Pondok Roudhotut Tholibin (biasa disebut Pondok Gede) yang saat itu diasuh oleh KH. Muhammad Sanusi Rohimahullah yang juga berasal dari Winduhaji.
Akang dikenal sangat taat dan patuh pada aturan dan perintah guru. Apapun yang diperintahkan sang guru, pasti dilaksanakan. Oleh Kyai Sanusi, Beliau pernah ditugaskan mengurusi kambing sekitar 17 ekor yang kandangnya berada di Kebon Melati (Pondok As-Sanusi sekarang, tepatnya di pojok timur masjid sebelah utara). Selain itu, pekerjaan Beliau setiap hari adalah menimba air untuk mengisi bak mandi sang guru. Bahkan bukan cuma bak mandi milik gurunya saja, tapi sering pula Beliau mengisi bak mandi para kyai yang lain. Berkat kepeduliannya itu, Beliau kerap kali mendapat imbalan makanan atau uang yang bisa memenuhi kebutuhan mengajinya. Dan kadang-kadang makanan yang diterimanya bisa buat mayoran bersama teman-temannya.
Dalam hal belajar, Kyai Sanusi menargetkan pada para santri agar dapat mengajar sorogan pada tahun ketiga, dapat mengajar bandungan pada tahun kelima, dan menjadi orang alim pada tahun ketujuh. Dengan kesungguhan serta kegigihan, Akang mampu meraih target-target tersebut, bahkan sudah berani mengajar sorogan sebelum tiga tahun.
Dengan maksud menjaga dan melestarikan ajaran Kyai Sanusi, Akang senantiasa mengambil sumpah dari para santri baru yang datang untuk mendaftarkan diri agar sanggup tujuh tahun. tapi, belakangan Akang pernah mengungkapkan bahwa untuk jaman sekarang tujuh tahun masih kurang. Sebaiknya sembilan tahun atau lebih.
Tahun 1973, tatkala Akang menjabat sebagai kepala pondok At-Taqwa, Beliau dinikahkan dengan Ny. Nadziroh Binti K. Dahlan, keponakan Kyai Sanusi. Setahun berikutnya, yaitu tahun 1974 suasana suka cita berganti duka atas wafatnya Kyai Sanusi.
Ditinggal sang guru, Beliau merasa ada tuntutan untuk meneruskan perjuangan sang guru dalam mengajarkan ilmu agama. Tahun 1975, atas perintah keluarga besar Kyai Sanusi mulailah Beliau merintis dan mendirikan Pondok Kebon Melati yang saat itu santrinya berjumlah dua puluhan dan semuanya hampir seumur dengan Beliau. Setiap tahun jumlah santri semakin bertambah, padahal peraturan yang Beliau terapkan semakin diperketat. “Sabar dan disiplin”, itulah motto Beliau.
Tahun 1992 Ny. Nadziroh dipaggil berpulang ke rahmatullah meninggalkan 6 anak; Maryatul Qibtiyah, Moh. Asror, Siti Aisyah, Siti Maryam, Hasan Rohmat, dan Siti Fathimah (Alm). Akang kemudian menikahi Ny. Masriyah tahun 1993. Lima bulan sesudah menikah, keduanya berangkat menunaikan haji. Bulan-bulan selanjutnya hambatan dan halangan begitu santer datang mengganggu kelangsungan serta ketentraman Pondok Kebon Melati, yang waktu itu jumlah santri sudah sangat banyak yakni 925. Sehingga pada tanggal 7 Nopember 1993, Akang dan para santri memilih untuk mengembangkan dan pindah ke Kebon Jambu, tanah wakaf dari keluarga KH. Amrin Hanan, ayahanda Ny. Masriyah.
Selanjutnya sebagian besar lahan Pondok Kebon Melati dipergunakan untuk Pondok As-Sanusi yang diasuh oleh KH. Abdul Qohar santri Pondok Kebon Melati yang menikah dengan Siti Malihah Binti M. Ma’mun Bin Kyai Sanusi.
Mengomentari muncul berbagai macam pendidikan sekolah di lingkungan pesantren, Beliau mengatakan bahwa sekolah memang merupakan satu jalan guna lebih meningkatkan wawasan santri, terutama dalam ilmu umum di samping ilmu agama. Namun, dengan adanya sekolah, Beliau memandang banyak santri yang tidak khusyu’ mengaji, sehingga ketika terjun masyarakat tidak dapat menjawab kebutuhan masyarakat. “Prioritaskanlah kepentingan pondok dari pada kepentingan sekolah”, pesan Beliau menegaskan.
Akang berargumen bahwa santri yang dapat menyelesaikan urusan ngaji, pasti akan dapat pula mengatasi problem-problem di sekolah, dan prestasinya akan sama-sama memuaskan. Beliau mengatakan hubungan antara pondok dan sekolah tetap Beliau jaga. Dan Pondok Kebon Jambu selalu mempererat hubungan dengan sekolah-sekolah di lingkungan Babakan yang di dalamnya terdapat santri Pondok Kebon Jambu, dengan maksud dapat mengontrol kegiatan belajar dan tingkah laku santri barang kali ada yang malas atau nakal.